Koleksi Foto Suroboyo

0

Posted by Asykwae | Posted in

Ini adalah koleksi foto-foto Surabaya dari jaman purba sampai jaman gaul. Kita bisa bedakan bagaimana suasana kota surabaya ketika zamannya penjajahan sampai saat ini. Dalam foto ini saya buatkan slide disertai dengan musik agar pengunjung tidak bosan mengunjungi suroenboyo.blogspot.com. Sampai disini aja dech perbincangannya...silakan melihat-lihat koleksi di blog ini FREE lho...

Eits kelupaan..abiz melihat jangan lupa commentnya ttg foto-fotonya ya.....
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Selengkapnya...

SEJARAH PROPINSI JAWA TIMUR 2

0

Posted by Asykwae | Posted in ,

Kedatangan VOC ke Pulau Jawa membawa pengaruh terhadap keruntuhan Kerajaan Mataram. Dari serangkaian perjanjian yang terjadi antara Raja Mataram dengan VOC, kemelut kekuasaan dalam keluarga kerajaan dan ketidaksetiaan di bawahnya, menjadikan Kerajaan Mataram berada dalam kondisi yang semakin sulit. Satu persatu wilayah kekuasaannya berhasil dikuasasi dan berada di bawah pengaruh VOC. Misalnyai pada tahun 1743 seluruh Pesisir Utara Jawa, bahkan wilayah Pesisir Wetan yang berhasil dikuasai dibentuk propinsi Java Oosthoek (Propinsi Pojok Timur Jawa). Bahkan sampai bergantinya kekuasaan
VOC menjadi Hindia Belanda, daerah Pesisir Wetan disebut
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masa VOC

Kedatangan VOC ke Pulau Jawa membawa pengaruh terhadap keruntuhan Kerajaan Mataram. Dari serangkaian perjanjian yang terjadi antara Raja Mataram dengan VOC, kemelut kekuasaan dalam keluarga kerajaan dan ketidaksetiaan di bawahnya, menjadikan Kerajaan Mataram berada dalam kondisi yang semakin sulit. Satu persatu wilayah kekuasaannya berhasil dikuasasi dan berada di bawah pengaruh VOC. Misalnyai pada tahun 1743 seluruh Pesisir Utara Jawa, bahkan wilayah Pesisir Wetan yang berhasil dikuasai dibentuk propinsi Java Oosthoek (Propinsi Pojok Timur Jawa). Bahkan sampai bergantinya kekuasaan
VOC menjadi Hindia Belanda, daerah Pesisir Wetan disebut         Pelabuhan Perak Surabaya sudah
 dengan Java Noord-Oostkost yang berpusat di Surabaya                      ramai sejak masa VOC
(1743-1808), sedang Pesisir Utara Jawa berpusat di Semarang.     (illustrasi HJ van Heisen, KITLV)
 Pada masa VOC untuk mengamati daerah pantai utara sampai timur Jawa ditugaskan kepada gubernur yang berpusat di Semarang. Di daerah yang dikuasainya, VOC juga menempatkan residen untuk wilayah karesidenan dan bupati untuk wilayah kabupaten.

C. Masa Hindia Belanda (1800-1942)
Setelah keruntuhan VOC yang resmi dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), Pulau Jawa terbagi menjadi sembilan propinsi yang dinamakan prefect. Bahkan sistem pemerintahan daerah yang dibangun pada masa VOC dirombak. Kekuasaan gubernur pantai utara-timur Jawa dibagi dalam sembilan prefektur yang dipimpin oleh seorang prefect. Kedudukan prefect sebagai residen dipegang oleh orang Belanda dan dibantu oleh asisten residen. Jawa sendiri dibagi dalam 30 kabupaten. Hak turun temurun bupati dihapuskan, penentuan hak atas tanah, hak mendapatkan pelayanan, tenaga kerja, dan hak pemungutan hasil pertanian dikurangi. Sebagai kompensasinya para bupati diberi kedudukan sebagai pegawai pemerintah yang digaji.

Pada masa Daendels, Jawa jatuh ke tangan Pemerintah Inggris. Thomas Stanford Rafles (1811-1816) diangkat sebagai Letnan Gubernur untuk mewakili Raja Muda Inggris, Lord Minto yang berkedudukan di India. Pada masa pemerintahan Raffles, Jawa yang meliputi seluruh kawasan Pesisir Utara Jawa dibagi menjadi 16 (enam belas) provinsi ; Banten, Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Jipang-Grobogan, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Banyuwangi, dan Madura. Adapun untuk daerah pedalaman yang terdiri atas wilayah Vorstenlanden Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang meliputi Mancanagara Wetan dan Mancanagara Kilen.

Selanjutnya Jawa dibagi atas 17 wilayah karesidenan yang masing-masing wilayahnya dipimpin oleh seorang residen berkebangsaan Eropa. Setiap karesidenan dibagi atas kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Bupati dibantu oleh seorang patih yang bertugas mengawasi kepala teritorial yang lebih rendah seperti wedana dan asisten wedana. Dalam sistem kepegawaian pemerintahan pribumi terdapat mantri (orang yang melaksanakan tugas khusus), penghulu (orang yang bertugas dalam urusan keagamaan), dan jaksa (orang yang bertugas dalam urusan hukum dan pajak).

Pada tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Regeerings Reglement. Menurut salah satu pasalnya disebutkan bahwa bupati dipilih oleh Gubernur Jenderal dari kalangan pribumi. Hal ini semakin memperkuat status dan kedudukan bupati. Kemudian dengan pemberlakuan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie Jawa dibagi dalam daerah-daerah administratif yang disebut gewest. Setiap gewest mencakup beberapa afdeeling (setingkat dengan kabupaten dan dipimpin oleh seorang asisten residen), district (setingkat dengan kawedanan dan dipimpin oleh seorang controleur), dan onderdistrict (setingkat dengan kecamatan dan dipimpin oleh aspirant controleur).

Pada awal abad XX, setelah banyak terjadi kritik terhadap pemerintahan Belanda di Hindia Belanda oleh tokoh-tokoh politik di Negeri Belanda, maka pada tahun 1903 dikeluarkan Wet Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (undang-undang tentang Desentralisasi di Hindia Belanda) yang bertujuan untuk pembentukan daerah-daerah otonom di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada prinsipnya undang-undang tersebut membuka kemungkinan pembentukan daerah otonomi dengan nama Locale Ressorten untuk menyelesaikan tugas-tugas lokal melalui dewan-dewan. Dengan demikian terbentuk Gewestelijke Raden (untuk daerah gewest/karesidenan), Plaatselijke Raden (untuk bagian dari daerah gewest/karesidenan, dan Gemeente Raden (untuk bagian daerah gewest yang berbentuk kota/kotapraja).
Undang-undang desentralisasi ternyata dirasa kurang memuaskan karena hanya sedikit uang yang diserahkan ke daerah. Akhirnya pada tahun 1922 dikeluarkanlah peraturan baru yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming. Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi (provinciaal raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van gedeputeerden (Dewan Pelaksana Pemerintahan Harian). Gubernur diangkat oleh gubernur jenderal, dan gubernur juga berkedudukan sebagai ketua provinciale raad dan college van gedeputeerden.
Sebagai tindak lanjut dari bestuurhervormingswet dibentuk Gewest Oost Java. Peraturan ini berlaku sejak 1 Juli 1928 dan berkedudukan di Surabaya. Diangkat sebagai gubernur van het Gewest Oost Java adalah W. Ch. Hardeman. Pengangkatan ini berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 Juni 1928 No. 32. Keputusan ini berlaku sejak 1 Juli 1928.
      W.Ch. Handerman       Pembentukan gewest dirasa kurang memenuhi harapan, selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda membentuk provinsi-provinsi di wilayah gewest. Pembentukan provinsi Jawa Timur diundangkan dalam Instelling van de Provincie Oost-Java. Undang-undang ini terdiri atas 25 pasal. Dalam pasal 25 dinyatakan bahwa peraturan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1929. Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa wilayah Jawa Timur adalah sebuah provinsi dan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa kedudukan pemerintahan Jawa Timur di Surabaya. Tempat dan kekuasaannya meliputi: (1) Surabaya, Mojokerto, Gresik, dan Bojonegoro; (2) Madiun dan Ponorogo; (3) Kediri dan Blitar; (4) Pasuruan, Malang, dan Probolinggo; (5) Bondowoso dan Jember; dan (6) Madura Barat dan Madura Timur.

Sebagai gubernur pertama diangkat W. Ch. Hardeman atas dasar Gouvernementbesluit tanggal 17 Desember 1928 No. 1x. Keputusan ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929.

D. Masa Pendudukan Jepang

Setelah tentara Jepang merebut dan menguasai Hindia Belanda dibentuk pemerintahan militer yang bersifat sementara. Pemerintahan militer Jepang membagi wilayah bekas Hindia Belanda menjadi tiga wilayah, yaitu (1) Angkatan darat (Tentara Keduapuluhlima) untuk Sumatera dan berkedudukan di Bukit Tinggi; (2) Angkatan Darat (Tentara keenambelas) untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta; (3) Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, kalimantan, dan Maluku dan berkedudukan di Makasar.

Pada bulan Agustus 1942, pemerintahan sementara ini berakhir dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsyu Syi. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan reorganisasi struktur pemerintahan. Menurut Undang-undang No. 27 seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas Syu (Karesidenan), Syi (sama dengan daerah stadsgemeente/kotapraja), ken (kabupaten), gun (kawedanaan/district), son (kecamatan/onderdistrict), dan ku (desa/kelurahan).
Dalam struktur pemerintahan pendudukan Jepang ditetapkan pemerintahan daerah tertinggi adalah Syu. Pulau Jawa terbagi atas 17 Syu, yaitu Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati,Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Berdasarkan pembagian tersebut, di Jawa Timur terdapat tujuh karesidenan, yaitu Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Hal ini tidak beda dengan pembagian karesidenan pada masa Hindia Belanda. Dengan demikian pembagian wilayah berdasarkan propinsi dihapuskan. Hal yang cukup menarik di sini adalah walaupun wilayah daerah
kekuasaan Syu seluas daerah residensi pada masa Hindia       Tentara Jepang memperingati Ulang
Belanda, namun kekuasaannya sama dengan gubernur.                     Tahun Kaisar Hirohito
Syucokan selaku penguasa Syu menjalankan pemerintahan     di Surabaya, 1944 (sumber :KITLV)
umum, mengurus kepolisian, memerintah dan mengawasi Kenco, Syico, Keisatushoco (Kepala Kantor Besar Propinsi) dalam wilayah Syu. Selanjutnya berdasarkan Osamu Seirei No. 28 tahun 1942, dalam syu dibentuk suatu dewan yang dinamakan Cokanto atau Majelis Pembesar Syu. Dewan ini bukan DPRD melainkan dewan biasa yang bertugas memberi pertimbangan kepada Syucokan apabila diperlukan.

Meskipun provinsi-provinsi dan gubernur-gubernur dihapuskan, karesidenan (syu), kawedanaan (gun), dan kecamatan (son) tetap berada di bawah Departemen Urusan Dalam Negeri (Naimubu) di Jakarta yang pada gilirannya bertanggungjawab kepada Komando Tentara Keenambelas yang berkuasa.

E. Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang, tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan: (1) Membagi wilayah RI ke dalam delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Masing-masing provinsi dikuasai oleh seorang gubernur; (2) Setiap provinsi dibagi menjadi sejumlah karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen; (3) Dalam menjalankan tugasnya gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah; (4) Kedudukan pemerintah kota diteruskan seperti sekarang. (Berita Republik Indonesia, II/7, 15 Februari 1946, hlm. 48).

Berdasarkan Pengumuman Pemerintah yang dikeluarkan oleh Badan Penerangan tanggal 19 Agustus 1945 tentang pengangkatan menteri-menteri dan kepala daerah, R.M.T.A. Soerjo diangkat sebagai Gubernur Propinsi Jawa Timur. Namun demikian R.M.T.A. Soerjo baru menjalankan tugas pemerintahannya dan datang ke Surabaya tanggal 12 Oktober 1945. Mengingat pada masa yang sama ia juga menjabat sebagai residen Bojonegoro. Adapun jabatan residen di Jawa Timur yang diangkat selengkapnya adalah: (1) R.M.T.A Koesnindar (Madiun), (2) R. Abd. Rahman Pratalikrama (Kediri), (3) R.M.T.A. Soerjo (Bojonegoro), (4) R. Soedirman (Surabaya), (5) Mr. R.S. Boediarto Martoatmocjo (Besuki), (6) R.A.A. Tjakraningrat (Madura), (7) Mr. R.P. Singgih (Malang). Di samping itu juga diangkat bupati yang diperbantukan pada residen, yaitu R. Setiono diperbantukan pada residen Surabaya, dan R.I. Moehamad Soeljoadikoesoemo pada residen Malang.
Keputusan lain yang juga ditetapkan PPKI pada saat itu adalah penggunaan istilah yang seragam untuk daerah desentralisasi, yaitu kota untuk menggantikan gemeente/stadsgemeente, dan istilah walikota untuk menggantikan burgemeester.

Kenginan Belanda yang mencoba berkuasa kembali di Indonesia diperkuat dengan membentuk pemerintahan Belanda di daerah yang berada di luar kekuasaan RI. Untuk itu diangkat seorang pembesar Belanda dengan pangkat Regerings Commissaris voor Bestuursaangegenheden (Recomba) atau Komisaris Pemerintah untuk Urusan Pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Luitenant-Gouverneur Generaal.
Di tengah konflik dengan Belanda yang mencoba menduduki kembali Republik Indonesia, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang Aturan-aturan Pokok Pemerintahan di daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun undang-undang ini tidak dapat dijalankan sepenuhnya akibat konflik politik di dalam tubuh RI sendiri dan dalam perjuangan melawan Belanda.
Setelah terjadi pengakuan kedaulatan terhadap RI oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar tahun 1949, mengakui tiga persetujuan pokok, yaitu (1) Dibentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS); (2) Penyerahan dari Pemerintah Belanda di Indonesia kepada pemerintah RIS; (3) Pembentukan Uni antara RIS dan Kerajaan Belanda. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, maka sejak tanggal 27 Desember 1949 berdirilah RIS yang terdiri dari tujuh negara bagian, yaitu: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Jawa Timur. Sementara kesembilan satuan Kenegaraan meliputi Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, Banjar, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
Dalam perkembangannya keinginan rakyat Jawa Timur agar Negara Jawa Timur dan Negara Madura dibubarkan dan dikembalikan kepada RI besar sekali. Desakan itu diwujudkan dalam banyak bentuk mosi dan resolusi agar negara bagian itu dibubarkan. Berdasarkan desakan rakyat, Pemerintah Negara Jawa Timur menyerahkan penyelenggaraan tugas pemerintahannya kepada Pemerintah RIS. Dengan Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1950, RIS menetapkan bahwa tugas itu diselenggarakan oleh Komisaris Pemerintah yang diangkat oleh Presiden RIS. Kemudian untuk memungkinkan pembubaran negara bagian, maka ditetapkan Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1950 tentang Tata cara perubahan susunan kenegaraan dari wilayah RIS.
Berdasarkan undang-undang ini maka negara bagian yang menginginkan bubar dapat dibubarkan oleh Presiden RIS dan wilayahnya digabungkan dengan Negara RI. Setelah berkonsultasi dengan Pemerintah RI dan RIS, akhirnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 109 tahun 1950 Negara Jawa Timur dibubarkan dan Keputusan Presiden No. 110 tahun 1950 Negara Madura dibubarkan.
Sebagai tindak lanjut dari keputusan tersebut, melalui Undang-undang No. 2 tahun 1950, tanggal 3 Maret 1950 dan diundangkan tanggal 4 Maret 1950 dibentuk Provinsi Jawa Timur. Undang-undang ini diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950. Dalam undang-undang ini cakupan wilayah Provinsi Jawa Timur tidak berubah, yaitu meliputi tujuh karesidenan. Akan tetapi pemerintah daerah karesidenan dihapus dan DPRD karesidenan dibubarkan. Sementara pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur tetap berkedudukan di Surabaya.                                                     Insiden Penyobekan
                                                                                                         Bendera di Surabaya, 1945



 




  

 
Selengkapnya...

SEJARAH PROPINSI JAWA TIMUR

0

Posted by Asykwae | Posted in ,

Menelusuri sejarah hari jadi provinsi Jawa Timur, tidak lengkap tanpa melihat background kondisi wilayah dan pemerintahan Jawa Timur. Seting sejarah Jawa Timur penting disajikan secara khusus agar dapat dikenali dan dipahami tentang argumentasi tim penelusuran hari jadi yang dibentuk Gubernur Jawa Timur mengusulkan alternatif hari jadi, dan bagaimana pula respond dan jawaban akhir dari DPRD terhadap usulan hari jadi hingga penetapannya. Peristiwa-peristiwa historis seperti apa yang secara faktual dan obyketif pernah terjadi dan dilalui provinsi Jawa Timur, sehingga tanggal 12 Oktober 1945 disepakati dan ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jawa Timur.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menelusuri sejarah hari jadi provinsi Jawa Timur, tidak lengkap tanpa melihat background kondisi wilayah dan pemerintahan Jawa Timur. Seting sejarah Jawa Timur penting disajikan secara khusus agar dapat dikenali dan dipahami tentang argumentasi tim penelusuran hari jadi yang dibentuk Gubernur Jawa Timur mengusulkan alternatif hari jadi, dan bagaimana pula respond dan jawaban akhir dari DPRD terhadap usulan hari jadi hingga penetapannya. Peristiwa-peristiwa historis seperti apa yang secara faktual dan obyketif pernah terjadi dan dilalui provinsi Jawa Timur, sehingga tanggal 12 Oktober 1945 disepakati dan ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jawa Timur.



A. Masa Kerajaan


Sumber-sumber epigrafis yang ditemukan di Indonesia banyak yang memberikan informasi tentang sistem pemerintahan di Indonesia. Perkembangan pemerintahan pada masa kerjaan diketahui dimulai sejak zaman Mataram Kuno (760-929), Medang (937-1080), Kediri (1080-1222), Singasari (1222-1292), Majapahit (1294-1527), Demak-Pajang (1575), dan Mataram Islam (1575-1755).

Menurut Prasasti Canggal (732 M), Kerajaan Mataram Kuno di bawah pimpinan Raja Sanjaya, struktur pemerintahan bersifat konsentris. Secara hierarkis pemerintahannya terdiri dari pemerintah pusat (kerajaan), pemerintah daerah (watek), dan pemerintahan desa (wanua). Pada pertengahan abad X oleh Pu Shendok, salah seorang keturunan Dinasti Sanjaya terakhir di Jawa Tengah, pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur. Disamping itu, ia juga melakukan konsolidasi kekuasaan dan pemerintahannya dalam suatu sistem dan struktur yang lebih mantap. Pu Shendok juga membangun wangsa atau dinasti baru yang dikenal dengan Wangsa Isana.
Keturunan Wangsa Isana berkembang di Kediri (1049-1222). Pada masa di Kediri ini muncul perubahan dalam struktur pemerintahan dengan munculnya istilah thani, wisaya, dan bhumi seperti yang terungkap pada prasasti Hantang (1135). Selain itu juga muncul istilah haji atau lurah yang diduga merupakan pejabat wilayah pada tingkat wisaya. Satuan wilayah wisaya ini menggantikan istilah watek pada abad sebelumnya. Istilah bhumi yang muncul dapat disejajarkan dengan istilah nagara. Namun istilah bhumi mengacu kepada ibukota, sedangkan nagara merupakan sebutan bagi satuan wilayah yang secara geografis maupun fisik dipimpin oleh seorang haji. Melihat realitas diatas maka dapat disimpulkan bahwa struktur pemerintahan pada masa kerajaan Kediri terdiri dari thani (desa), wisaya/lurah/haji (kabupaten), dan bhumi (pusat).

Pada masa kerajaan Singhasari (1222-1292) terjadi perkembangan baru dalam struktur pemerintahan di Jawa Timur. Berdasarkan prasasti Mula-Manurung, 28 Desember 1255 yang dikeluarkan Raja Seminingrat, muncul institusi baru, yaitu nagara sebagai satuan wilayah pemerintahan. Institusi baru ini posisinya berada di atas watek/wisaya dan di bawah raja. Perubahan ini dilakukan untuk perluasan kawasan politik, khususnya dalam politik perdagangan.





Struktur pemerintahan lebih mengalami kemajuan pada masa Kerajaan Majapahit (1294-1527). Pada masa ini pemerintahannya telah menerapkan orientasi keluar dan memantapkan sistem penataan wilayah dan pemerintahan. Masa ini muncul jabatan-jabatan seperti Pahom Nahendra (Dewan Kerajaan), Saptaprabu (Dewan Pertimbangan), Saptaupapati (Pejabat Kehakiman), Panca Thanda (Birokrasi), dan Darma Putera, serta Bhayangkari (pasukan keamanan khusus).
Wilayah kerajaan Majapahit, khususnya di Jawa dibagi menjadi sejumlah propinsi yang membawahi sejumlah penguasa lokal: bupati, akuwu, dan demang. Para penguasa lokal ini menerima kekuasaan dari raja. Namun ia harus melakukan kewajiban seperti menyediakan tenaga untuk keperluan raja dan kepentingan militer jika diperlukan, membayar pajak, dan menghadap ke ibukota atau ke istana untuk menyatakan kesetiaan. Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya, setelah wilayah Majapahit semakin luas, raja dijadikan sebagai pusat kosmis. Untuk itu diangkatlah keluarga raja menjadi adhipati atau gubernur pada nagara-nagara atau propinsi sebagai penghubung antara raja dengan masyarakat desa. Dalam konteks demikian Raja Hayam Wuruk mengukuhkan undang-undang pemerintahan dan ditetapkannya hari jadi pemerintahan nagara setingkat provinsi di Jawa Timur dalam struktur pemerintahan kerajaan Majapahit pada tanggal 27 Maret 1365 M.



Keputusan ini diperkuat setelah Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Majapahit di bagian timur, yang dalam perkembangannya kemudian daerah-daerah tersebut menjadi wilayah Provinsi Bang Wetan atau Jawa Timur.

Tanggal lain yang juga berhubungan dengan masalah penetapan munculnya pemerintahan nagara atau provinsi selain prasasti Mulamanurung ialah tanggal peluncuran Nagarakrtagama sendiri yaitu, tanggal 25 September 1365.

Dari informasi yang ditemukan secara vertikal struktur pemerintahan Majapahit dari atas ke bawah adalah sebagai berikut: bhumi (pusat/maharaja), rajya (nagara) (provinsi/raja/natha/bhatara/wadhana/adhipati), watek/wiyasa (kabupaten/ tumenggung), lurah/kuwu (kademangan/demang), thani/wanua (desa, petinggi), kabuyutan (dusun/dukuh/lingkungan/rama). Wilayah propinsi pada Kerajaan Majapahit yang semula pada abad XIV berdasarkan pemberitaan Negarakrtagama berjumlah dua belas, yaitu:






No
Nama Nagara
Nama Natha atau Gubernur
Keterangan



















1.
Kahuripan (Janggala)
Tribhuwanatunggadewi
Ibu Raja





2.
Daha (Kediri)
Rajadewi Maharajasa
Bibi/Mertua




3.
Singhasari
Kertawardhana
Ayah Raja



4.
Wengker (Ponorogo) Wijayarajasa Paman/Mertua




5.
Matahun (Bojonegoro) Rajasawardhana SuamiBhre, Lasem, sepupu Hayam Wuruk

6.
Wirabhumi (Blambanagan) Nagarawardhani Kemenakan Hayam Wuruk




7.
Paguhan Sangawardhana IparHayam Wuruk




8.
Kabalan Kusumawardhani Anak (prp)




9.
Pawanuan Surawardhani -




10.
Lasem (Jawa Tengah) Rajasaduhita Indudewi Sepupu Hayam wuruk




11.
Pajang (dekat Solo) Rajasaduhitaiswari Saudara Prp. Hayam wuruk




12.
Mataram (Yogyakarta) Wikramawardhana Kemenakan/Prp. Hayam wuruk









(Sumber: Th. G. Pigeud, Java in the 14th Century A Study in Cultural History I Javanese Texts in Transcription, The Hague: M. Nijhoff, 1960).





Berdasarkan prasasti Suradakan, 22 Nopember 1447 provinsi di Majapahit berkembang menjadi empat belas, yang masing-masing satuan daerah itu dipimpin oleh seorang bangsawan keluarga raja sebagai raja muda yang bergelar Bhatara atau gubernur. Keempat belas daerah dan natha tersebut adalah:




No Nama Nagara Nama Natha atau Gubernur





1.
Kahuripan (Janggala) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara


2.
Daha (Kediri) Jayawardhani Dyah Iswara


3.
Wengker (Ponorogo) Girisawardhana Dyah Suryawikrama


4.
Tumapel (Singhasari) Singawikramawardhana Dyah Suraprabawa


5.
Wirabhumi (Blambanagan) Wijayaparekraman Dyah Samarawijaya


6.
Wirabhumi (Blambanagan) Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari


7.
Jagaraga (Ngawi) Wijayaindudewi Dyah Wijayaduhita


8.
Kling (Timur Kediri) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana


9.
Singapura Rajasawardhanadewi Dyah Sripura


10.
Kalinghapura Kamalawarnadewi Dyah Sudayitra


11.
Kembang Jenar Rajanandeswari Dyah Sudarmini


12.
Kabalan Mahamahisi Dyah Sawitri


13.
Pajang (dekat Solo) Dyah Sura Iswari


14.
Tanjungpura Mangalawardhani Dyah Suragharini





(Sumber: H.M. Yamin, Tatanegara Majapahit Sapta-Parwa II, Jakarta: Prajnaparamita, 1960)




Keruntuhan Majapahit pada awal abad XVI memunculkan kerajaan baru yaitu Demak (1478-1546) dan Pajang (1546-1582). Kerajaan Demak yang dipimpin Sultan Trenggono berhasil menaklukkan wilayah-wilayah sampai ujung timur Jawa. Namun beliau tewas dalam usaha penaklukan tersebut. Kemelut politik yang terjadi setelah Sultan Trenggono wafat memunculkan tokoh baru yaitu Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya yang memindahkan pusat kerajaan ke daerah pedalaman di Pajang. Pada masa Pajang ini Jawa terbagi menjadi 5 provinsi yaitu (1) Pajang sebagai inti kerajaan, (2) Pesisir Utara Jawa Tengah dan sebagian Pesisir Utara Jawa Timur, (3) Pesisir Barat dari Cirebon sampai Banten, dan (4) Mancanagara, dan (5) Bang Wetan. Namun sumber lain (de Graaf) ada yang menyebutkan bahwa pada masa Pajang terbagi menjadi delapan wilayah provinsi yang merdeka dan terpisah, yaitu Banten, Jayakarta, Cirebon, Prawata, Kalinyamat (Japara), Pajang, Kedu, dan Madura.

Pada masa Kerajaan Mataram (1575-1755) di bawah Sultan Agung, kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berhasil ditaklukkan. Mulai dari Madiun (1590) hingga Blambangan (1635) wilayah Jawa Timur praktis dapat disatukan di bawah panji-panji Mataram. Untuk mempertahankan integrasi wilayahnya dilakukan ikatan perkawinan dengan keluarga kerajaan, misalnya Adipati Surabaya dengan adik Sultan, Ratu Pandansari. Bahkan Sultan Agung melakukan perhelatan besar pada tahun 1936 dan 1941. Perhelatan atau Sidang Raya Kerajaan ini diselenggarakan bertepatan dengan upacara Gerebeg Maulud tanggal 14 Agustus 1636. Agenda sidang tersebut adalah :


1. Peresmian pemakaian kalender hijriah untuk menggantikan kalender Saka.


2. Dilakukan registrasi wilayah kerajaan dan penetapan struktur pemerintahan.


3.
Penetapan wilayah administrasi pemerintahan di mana wilayah propinsi seperti Bang Wetan yang terdiri dari Mancanagara Wetan dan Pesisir Wetan dipimpin oleh wedhana bupati atau adhipati yang statusnya dapat dibandingkan dengan Gubernur karena posisinya berada di atas tingkatan bupati.










Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram banyak melakukan perubahan-perubahan pada sistem pemerintahannya. Perubahan ini tidak luput dari situasi politik yang terjadi pada saat itu. Dari sudut konsentrisme yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan, wilayah Mataram dibedakan atas empat golongan, yaitu (1) Kuthagara atau Kutanegara (negara) yaitu keraton sebagai titik pusat dan tempat tinggal raja. (2) Bhumi Narawita (tempat para hamba raja), yaitu tempat tinggal para bangsawan kerajaan. (3) Nagaragung, yaitu daerah di luar ibu kota di mana di daerah ini terdapat tanah jabatan dari para bangsawan yang bertempat tinggal di Bhumi Narawita. (4) Mancanagara, yaitu daerah di luar nagaragung yang meliputi mancanagara wetan (mulai Ponorogo ke timur), mancanagara kulon (mulai Purworejo ke barat), pesisiran pantai utara yang terdiri atas pesisiran kulon (Demak ke barat) dan pesisiran wetan (Demak ke Timur).









 
Selengkapnya...

Peristiwa 10 Nopeber 1945 : Mengapa Inggris Membom Surabaya ??

0

Posted by Asykwae | Posted in ,

Peristiwa Hotel Oranye -- Insiden Bendera 19 September 1945 di Hotel YAMATO / Hotel ORANGE (sekarang Hotel Mandarin Oriental MAJAPAHIT) Surabaya. Rakyat Surabaya marah dengan adanya bendera merah putih biru berkibar di atas menara hotel. Dan terjadilah aksi perobekan bendera warna biru, hingga menjadi merah dan putih. Di Jakarta pada tanggal yang sama 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

  • Peristiwa Hotel Oranye -- Insiden Bendera 19 September 1945 di Hotel YAMATO / Hotel ORANGE (sekarang Hotel Mandarin Oriental MAJAPAHIT) Surabaya. Rakyat Surabaya marah dengan adanya bendera merah putih biru berkibar di atas menara hotel. Dan terjadilah aksi perobekan bendera warna biru, hingga menjadi merah dan putih. Di Jakarta pada tanggal yang sama 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) oleh ayahnya Prof DR Soemitro Djojohadikusumo yaitu Margono.Tetapi ada agenda cukup penting yang rupanya dibicarakan secara khusus, yaitu berlangsungnya “Rapat Raksasa Ikada” yang penyelenggaraannya dipersiapkan dan dilaksanakan rakyat Jakarta dan sekitarnya yang dimotori Pemuda-Mahasiswa Jakarta. Lainnya mengenai Hotel Oranye...

"Surabaya-incident" -- Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan Hindia.

Pulau-pulau lain dari wilayah bekas Hindia Belanda berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya (South West Pacific Area Command – SWPAC).

Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, MacArthur diperintahkan untuk segera membawa pasukannya ke Jepang, dan kewenangan atas wilayah SWPAC diserahkan kepada Mountbatten. Mengenai penambahan tugas yang diberikan kepadanya, Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.

Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese.”
Van mook
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh Dr. van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.

Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
  1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
  2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
  3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta –mungkin waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya- telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris.

Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera.

Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.


Brigade 49, dengan julukannya “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, 42 tahun, mendarat di surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23, yang seharusnya ditugaskan untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun karena Divisi 5 yang seharusnya ditugaskan ke Jawa Timur, masih tertahan di Malaysia, oleh karena itu, Mallaby diperintahkan untuk segera ke Surabaya.

Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.:
Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).

Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.

Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.

Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan:
Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.

Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa:
”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.

Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.

Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrembangan.

Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.

Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Merah Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.

Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene tentara profesional.

Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding.

Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out. "

Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.
Pertemuan Christison & Soekarno in 25 Okt 1945
Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.

Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.

Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini
.

Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”

Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan: “We accept your unconditional surrender!”,
 dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.

Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam
Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”
  • Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
  • Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
  • Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
  • The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried out.
  • The Allied forces shall not guard the city.
  • The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang bersenjata.
Suasana setelah penghentian tembak menembak yang disepakati para pemimpin Pemerintah Republik Indonesia dengan tentara Sekutu. Pada foto tampak Brigadir Jenderal Mallaby dan Dr. Soegiri sedang berkeliling kota memberitahukan adanya penghentian tembak menembak.
(Sumber: Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949, Perpustakaan DHD 45 Propinsi Jatim)

Agar pelanggan asykwae tidak bosan baca postingan mengenai Peristiwa 10 Nopember 1945 - Mengapa Inggris membom Indonesia akan Asykwae posting kesesi selanjutnya......


Selengkapnya...

PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945 - Lapangan Ikada

0

Posted by Asykwae | Posted in ,

Lapangan Ikada merupakan lapangan luas di bagian pojok timur yang saat ini ditempati oleh kawasan Monas. Sejak jauh sebelum Senayan dibangun, Lapangan Ikada yang sebelumnya dikenal sebagai Lapangan Gambir, merupakan pusat kegiatan olahraga. Nama Lapangan Ikada baru muncul pada masa pendudukan Jepang tahun 1942.

Ikada sendiri merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta. Di sekitar kawasan tersebut terdapat sejumlah lapangan sepak bola milik klub sepak bola era 1940-an dan 1950-an seperti Hercules, VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport) dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas kompetisi BVO (Batavia Vootball Organization). Setelah kemerdekaan, kesebelasan tersebut digantikan oleh Persija. Selain lapangan sepak bola, di sekitarnya terdapat pula lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda untuk militer kavaleri.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lapangan Ikada
Lapangan Ikada merupakan lapangan luas di bagian pojok timur yang saat ini ditempati oleh kawasan Monas. Sejak jauh sebelum Senayan dibangun, Lapangan Ikada yang sebelumnya dikenal sebagai Lapangan Gambir, merupakan pusat kegiatan olahraga. Nama Lapangan Ikada baru muncul pada masa pendudukan Jepang tahun 1942.

Ikada sendiri merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta. Di sekitar kawasan tersebut terdapat sejumlah lapangan sepak bola milik klub sepak bola era 1940-an dan 1950-an seperti Hercules, VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport) dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas kompetisi BVO (Batavia Vootball Organization). Setelah kemerdekaan, kesebelasan tersebut digantikan oleh Persija. Selain lapangan sepak bola, di sekitarnya terdapat pula lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda untuk militer kavaleri.

Sebelum [Senayan|Stadion Gelora Bung Karno] selesai dibangun untuk menyambut Asian Games 1962 IV tahun 1962, Ikada merupakan tempat latihan dan pertandinggan PSSI. Pada acara Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-2 tahun 1952, dibangun Stadion Ikada di sebelah selatan lapangan ini.

Lapangan ini pada awalnya oleh Gubernur-Jenderal Herman William Daendels (1818). Mula-mula bernama Champ de Mars karena bertepatan penaklukan Belanda oleh Napoleon Bonaparte. Ketika Belanda berhasil merebut kembali negerinya dari Perancis, namanya diubah menjadi Koningsplein (Lapangan Raja). Sementara rakyat lebih senang menyebutnya Lapangan Gambir, yang kini diabadikan untuk nama stasion kereta api di dekatnya.
Catatan
VIOS mempunyai lapangan sendiri bernama Viosveld (lapangan Vios), kini Stadion Menteng. Sekarang lapangan ini terletak di jalan HOS Cokroaminoto no.87, Jakarta
 Selanjutnya Mengenai PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945 >>>
Lapangan Ikada
Lapangan Ikada merupakan lapangan luas di bagian pojok timur yang saat ini ditempati oleh kawasan Monas. Sejak jauh sebelum Senayan dibangun, Lapangan Ikada yang sebelumnya dikenal sebagai Lapangan Gambir, merupakan pusat kegiatan olahraga. Nama Lapangan Ikada baru muncul pada masa pendudukan Jepang tahun 1942.

Ikada sendiri merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta. Di sekitar kawasan tersebut terdapat sejumlah lapangan sepak bola milik klub sepak bola era 1940-an dan 1950-an seperti Hercules, VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport) dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas kompetisi BVO (Batavia Vootball Organization). Setelah kemerdekaan, kesebelasan tersebut digantikan oleh Persija. Selain lapangan sepak bola, di sekitarnya terdapat pula lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda untuk militer kavaleri.

Sebelum [Senayan|Stadion Gelora Bung Karno] selesai dibangun untuk menyambut Asian Games 1962 IV tahun 1962, Ikada merupakan tempat latihan dan pertandinggan PSSI. Pada acara Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-2 tahun 1952, dibangun Stadion Ikada di sebelah selatan lapangan ini.

Lapangan ini pada awalnya oleh Gubernur-Jenderal Herman William Daendels (1818). Mula-mula bernama Champ de Mars karena bertepatan penaklukan Belanda oleh Napoleon Bonaparte. Ketika Belanda berhasil merebut kembali negerinya dari Perancis, namanya diubah menjadi Koningsplein (Lapangan Raja). Sementara rakyat lebih senang menyebutnya Lapangan Gambir, yang kini diabadikan untuk nama stasion kereta api di dekatnya.
Catatan
VIOS mempunyai lapangan sendiri bernama Viosveld (lapangan Vios), kini Stadion Menteng. Sekarang lapangan ini terletak di jalan HOS Cokroaminoto no.87, Jakarta
 Selanjutnya Mengenai PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945 >>>
...Sebelumnya Mengenai PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER Selengkapnya...

PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945 -- RAPAT RAKSASA LAPANGAN IKADA 19 SEPTEMBER 1945

1

Posted by Asykwae | Posted in ,

Pada tgl 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) oleh ayahnya Prof DR Soemitro Djojohadikusumo yaitu Margono. Tetapi ada agenda cukup penting yang rupanya....
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945
Pada tgl 19 September 1945 mulai pukul 10.00 pagi bertempat digedung KNIP Lapangan Banteng Jakarta (Mahkamah Agung samping Dep.Keuangan sekarang) diadakan Rapat Kabinet yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Cukup banyak yang dibicarakan dalam rapat tersebut termasuk rencana pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) oleh ayahnya Prof DR Soemitro Djojohadikusumo yaitu Margono. Tetapi ada agenda cukup penting yang rupanya dibicarakan secara khusus, yaitu berlangsungnya “Rapat Raksasa Ikada” yang penyelenggaraannya dipersiapkan dan dilaksanakan rakyat Jakarta dan sekitarnya yang dimotori Pemuda-Mahasiswa Jakarta.Rencana Rapat Akbar yang sejak awal tempatnya sudah ditetapkan yaitu Lapangan Ikada (sekarang pojok timur Monas), pada mulanya dimaksudkan untuk memeperingati satu bulan Proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi rencananya dilaksanakan pada tanggal 17 September 1945. Tapi rupanya rencana ini ditanggapi fihak Pemerintah Republik Indonesia secara maju mundur. Ada kesan Pemerintah sangat berhati-hati atau nyaris takut kepada kekuasaan Militer Jepang yang baru saja kalah perang. Untuk ini Kabinet sudah membahasnya dalam rapat tgl 17 September 1945. Kurang disetujuinya rencana rapat tersebut oleh Pemerintah, antara lain atas pertimbangan rakyat yang berkumpul cukup banyak , yang akan memancing kemarahan militer Jepang dan mungkin mengakibatkan bentrokan fisik dimana dikhawatirkan akan jatuhnya banyak korban sia-sia. Memang fihak militer Jepang jauh hari telah mengeluarkan larangan berkumpulnya massa lebih dari lima orang. Dan bukan hal yang tidak mungkin fihak Jepang yang sekarang telah menjadi alat sekutu, sudah menjalankan kebijakan yang ditetapkan oleh SEAC (South East Asia Command) yaitu untuk mempertahankan keadaan Status Quo.

Fihak panitia penyelenggara yang terdiri dari banyak Pemuda dan Mahasiswa yang menggunakan nama panitia “Komite aksi”, menganggap Pemerintah harus didesak dan dimotivasi terus agar sadar bahwa Rapat Raksasa ini penting untuk diselenggarakan guna menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mendukung Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah perwujudan nyata dari proses demokrasi dan harus dikampanyekan kepada dunia. Bukankah Republik Indonesia secara defacto sudah ada melalui fakta adanya Rakyat, Wilayah dan Pemerintah. Dalam Rapat Ikada inilah khsusnya penduduk Jakarta dan sekitarnya akan membuktikan suatu legitimasi politik bahwa “Indonesia sekarang telah Merdeka” yang didukung rakyat. Karena tidak kunjung jawaban dari Pemerintah Republik Indonesia, ahirnya fihak penyelenggara memutuskan untuk mengundurkan rencana acara tgl 17 menjadi tanggal 19 September 1945. Sedangkan tempat masih tetap direncanakan dilapangan Ikada.Pada tanggal 18 Sptember 1945 jam 11.00 pagi, tiba-tiba Mr Achmad Subardjo selaku menteri Luar Negeri RI mengadakan konferensi Pers untuk menyampaikan keputusan Pemerintah yang isinya sepertinya menghilangkan harapan rakyat yaitu menolak rencana Rapat Raksasa Ikada. Beliau juga memerintahkan agar rencana pembatalannya diberitakan dalam Berita Indonesia (sebuah surat kabar pada saat itu). Reaksi para pemuda dan mahasiswa yang hadir dalam konferensi tersebut sudah bisa diperkirakan sejak semula. Mereka menyatakan sikap bahwa “Apapun yang akan terjadi Rapat Raksasa Ikada akan tetap diadakan pada esok pagi yaitu tgl 19 September 1945”.

Sikap ini sebenarnya bukan hanya luapan emosi semata, tapi beralasan antara lain karena persiapan Rapat Raksasa Ikada sudah berjalan cukup jauh, termasuk usaha untuk mengundang rakyat dari berbagai peloksok Ibu kota dan daerah sekitar Jakarta. Cara pemberitaan ini cukup sukses padahal alat komunikasi sangat terbatas. Pada umumnya penyampaian berita undangan dilakukan secara berantai melalui sistim pembagian wilayah pada zaman Jepang dan organisasi RT/RW saat itu (Tonarigumi).

Pemuda-mahasiswa protes kepada Pemerintah dan berusaha menjelaskan duduk perkaranya kepada Pemerintah dan meminta keputusan ditinjau kembali. Desakan para hadirin agar Pemerintah sekali lagi bersidang, ahirnya ditanggapai oleh Men.Lu Achmad Subardjo dan berjanji untuk menyampaikannya kepada Presiden Sukarno. Setelah bubaran, para pemuda-mahasiswa tidak langsung pulang kerumah tapi berkumpul ditempat kelompoknya masing-masing, untuk membicarakan tindakan selanjutnya. Sedikit gambaran Pasca Proklamasi, setidaknya ada 3 kelompok besar pemuda-mahasiwa yang berbeda dalam latar belakang politiknya. Yang pertama kelompok Prapatan 10 (asrama mahasiswa kedokteran Ikadaigakho) yang 100 % terdiri dari mahasiswa, kelompok Menteng 31 yang sebagian besar terdiri dari pemuda dan kelompok BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar Indonesia) jl Cikini no.71. Terdiri dari campuran Mahasiswa dan Pelajar. Diluar itu ada juga kelompok yang tidak kalah partisipasinya dalam persiapan ini yaitu kelompok pelajar SMT (Sekolah menengah Tinggi) Jakarta. Dan dalam jumlah kecil ada juga para pemuda yang tergabung dalam asrama Indonesia merdeka dijalan Kebon Sirih no.80 Jakarta, dan pemuda dari Barisan Pelopor Jakarta. Mereka semua merupakan motor-motor persiapan Rapat Raksasa Ikada pada saat itu. Anehnya berbagai kelompok pemuda/mahasiswa ini yang pada zaman Jepang dan awal Revolusi berbeda faham, tapi kini menjelang Rapat Raksasa bisa bersatu dan saling bahu membahu bekerja sama.

Jangan dilupakan juga pada saat itu terdapat banyak para pemuda ex tentara PETA dan HEIHO yang sudah menceburkan dirinya dalam BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Organisasi mereka juga punya peranan yang menentukan dalam persiapan pengamanan Rapat Raksasa Ikada. Komandan BKR Jakarta pada saat itu adalah mantan Shodanco Mufraini Mukmin yang belakangan akan menjadi Komandan Resimen Jakarta. Yang tidak kalah pentingnya Polisi ex Jepang (Polisi macan) yang sudah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia.

Merekalah satu-satunya kekuatan bersenjata yang ada difihak RI pada saat itu , termasuk untuk pengamanan keselamatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri kabinet.Untuk persiapan pendukung, telah siap pula anggota PMI (Palang Merah Indonesia), ibu-ibu penyelenggara Dapur Umum , dokter-dokter serta dokter-dokter muda CBZ (Centralle Burgerlijk Ziekenhuis) yang sejak zaman Jepang sudah berganti nama menjadi Roemah Sakit Pergoeroen Tinggi. Mereka mempersiapkan obat-obatan, dan alat-alat medis lainnya serta telah dipersiapkan pula beberapa buah Ambulance. Yang tidak kalah menentukan adalah wartawan dan dokumentator, Radio Republik Indonesia , Juru Foto IPPHOS, serta Cameraman dari Studio Multi Film atau bahasa Jepangnya “Nippon Eiga Sha” (ex perusaan film Propaganda Jepang yang belakangan menjadi PFN) yang akan mendokumentasikan peristiwa penting ini. Hasil dokumentasi mereka ini nantinya meru-pakan satu-satunya visualisasi seluloid tentang hal tersebut sampai sekarang.

Setelah menunggu beberapa saat rupanya Pemerintah menepati janjinya untuk mengadakan rapat kabinet kembali. Pada tgl 18 September 1945, jam 20.00 bertempat dikediaman Presiden Sukarno, jl Pegangsaan Timur 56, Men.Lu Achmad Subardjo melaporkan kepada Presiden tentang pertemuannya dengan pemuda-mahasiswa pada pagi hari dimana mereka pada dasarnya tetap bertekad untuk melaksanakan Rapat Raksasa Ikada. Meskipun Rapat sebagian anggota kabinet ini berlangsung sampai jam 4.00 pagi, tapi tidak menghasilkan apa-apa dan diputuskan akan dilanjutkan di kantor KNIP di Lapangan Banteng besok paginya tgl 19 September 1945 dalam rapat pleno dimana anggota kabinet lengkap. Kembali kepada penuturan awal diatas dimana sedang berlangsungnya Rapat Kabinet tgl 19 September 1945, nampaknya semua unsur mengalami kegelisahan yang cukup mencekam.. Disatu fihak pemuda-mahasiswa panitia penyelenggara dari Komite Aksi yang sejak pagi hari sudah menghadapi masa yang terus berbondong-bondong menuju Ikada yang diperkirakan telah mencapai lebih dari 100.000 orang.

Kepada panitia ini massa rakyat menuntut untuk menghadirkan segera para pemimpin bangsa, khususnya Presiden Sukarno. Difihak yang lain Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan seluruh anggota Kabinet bersama anggota KNIP masih mengulur-ngulur waktu tampa tau harus berbuat apa. Nampaknya disini dibutuhkan seseorang tokoh sentral yang berani dan tegas untuk berkata ya atau tidak sama sekali. Sementara sekitar jam 12.00, kabinet sudah mengutus Mohammad Roem (Ketua KNIP Jakarta) dan Soewirjo (Walikota Jakarta) untuk menemui fihak militer Jepang untuk membicarakan hal-hal mengenai rapat raksasa tersebut. Dalam pembicaraan ini ada kesan bahwa fihak Jepang mulai kewalahan melihat pengumpulan masa yang makin lama makin besar tampa bisa berbuat sesuatu.

Mereka meminta Roem dan Suwirjo, membubarkan kumpulan massa rakyat tersebut. Hal ini dijawab Roem dan Soewirjo bahwa yang bisa membubarkan kumpulan massa itu hanya satu orang yaitu Presiden Sukarno. Kedua utusan Kabinet ini juga sempat menyaksikan keadaan dilapangan Ikada secara langsung, termasuk persiapan pasukan Tentara Jepang yang sudah sempat memobilisir sejumlah besar pasukan infantri bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus yang didukung pasukan tank dan panser. Semua hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Presiden Sukarno.

Ahirnya menjelang pukul 16.00 Presiden Sukarno tidak mungkin berpangku tangan lagi dan dengan tegas menyatakan “ Saudara-saudara menteri dengarkan keputusan saya. Saya akan pergi kelapangan Ikada untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu. Saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya. Siapa yang mau tinggal dirumah boleh, terserah kepada saudara masing-masing”.

Dengan adanya keputusan tersebut maka berahirlah sidang kabinet, dan secara resmi Pemerintah menyetujui Rapat Raksasa Ikada dilangsungkan. Dan hampir semua hadirin dalam sidang digedung KNIP ini ternyata ikut menuju Lapangan Ikada mengikuti Presiden, menurut caranya masing-masing. Presiden Sukarno sendiri telah dijemput pemuda-mahasiswa dari panitia penyelenggara Komite Aksi.

Mobil yang dipergunakan mahasiswa tidak tanggung-tanggung sebuah mobil berwarna hijau militer Jepang (kuning hijau) bekas milik salah seorang pimpinan Kempetai. Kendaraan ini dikendarai oleh mahasiswa Sujono Joedodibroto (sekarang profesor ahli mata) dan dimuka dikawal dua buah motor indian yang dikendarai Subianto Djojohadikusumo (gugur sebagai letnan satu Polsi Tentara dalam peristiwa lengkong Tanggerang awal tahun 1946) dan Daan Yahya (mantan Panglima Divisi Siliwangi tahun 1948 dan gubernur militer Jakarta Raja tahun 1950).

Rupanya rombongan tidak langsung kelapangan Ikada tapi mampir di Asrama mahasiswa kedokteran jalan Prapatan no.10 Jakarta, karena Presiden Sukarno mau mengganti pakaian dahulu yang berwarna putih yang diambil dari rumah. Sekitar jam 16.00 tepat barulah rombongan Presiden yang dikawal mahasiswa ini yang kini sudah bertambah, termasuk mahasiswa Eri Sudewo, Sujono markas, Patiasina, Kamal dan sebagainya. Sebelum masuk kelapangan Ikada (kira-kira dimuka PLN sekarang), rombongan Presiden turun dari mobil yang langsung disambut rakyat.

Bersama rombongan besar rakyat inilah Presiden dan anggota kabinet berjalan bersama menuju tempat yang sudah disediakan. Nampak beberapa tokoh mendekati Presiden, antara lain Hatta, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Mufraini Mukmin dan sebagainya. Tapi baru beberapa meter mereka berjalan tiba-tiba sudah dihadang beberapa perwira Jepang yang meminta agar Rapat dibubarkan. Salah seorang perwira Jepang ini adalah Let.Kol Myamoto yang ditugaskan pimpinan militernya untuk berunding.
Melalui penterjemah yang juga seorang mahasiswa, Presiden Sukarno kemudian menjelaskan bahwa dia harus menentramkan rakyat yang sejak pagi menanti kedatangannya. Kalau dia dihalangi maka bisa saja akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ahirnya rombongan diizinkan melanjutkan perjalanan menuju lautan manusia yang mengelu-elukan para pemimpin mereka. Lautan manusia ini dilengkapi ribuan bendera Merah Putih yang berkibar dengan megahnya yang tidak terbayangkan pada saat sebelumnya pada masa pendudukan Jepang. Tampak beberapa spanduk besar bertuliskan antara lain “ Kalaoe ada orang bertanya berapakah jumlah moe, maka jawablah kami satoe


Menunggu kesempatan baik, rombongan lebih dahulu menuju tribune utama. Dan pada saatnya sebagaimana harapan rakyat maka naiklah Presiden Sukarno keatas podium kayu setinggi kurang lebih 3 meter dikawal ajidan dan seorang anggota polisi. Ketika itulah terdengarlah teriakan Merdeka…Merdeka…Merdeka, yang sambung menyambung. Maka Presidenpun berpidato dimuka lautan rakyat yang mulai senyap tampa bersuara antara lain beliau berkata :
“ Kita sudah memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini tetap kami pertahankan, sepatahpun tidak kami cabut. Tetapi dalam pada itu, kami sudah menyusun suatu rancangan. Tenang, tentram, tetapi tetap siap sedia menerima perintah yang kami berikan. Kalau saudara-saudara percaya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu walaupun dada kami akan robek karenanya, maka berikanlah kepercayaan kepada kami dengan tunduk kepada perintah-perintah kami dengan disiplin. Sanggupkah saudara-saudara “ dijawab dengan serentak oleh rakyat “Sanguuup”. Lalu Presiden melanjutkan “Perintah kami hari ini, marilah sekarang pulang semua dengan tenang dan tenteram, ikutilah perintah Presidenmu sendiri tetapi dengan tetap siap sedia sewaktu-waktu. Saya tutup dengan salam  nasional….. MERDEKA….” .

Maka terjadilah keajaiban tersebut. Kumpulan massa yang dianggap fihak Jepang akan sukar dikendalikan, ternyata mau menurut Presidennya dan pulang kerumah masing-masing dengan teratur.

Apakah arti peristiwa Rapat Raksasa Ikada ini ?. Bahwa rakyat Indonesia pada dasarnya mudah disatukan dalam langkah dan geraknya oleh kekuatan dari sebuah figur kharismatik serta diarahkan dan dikendalikan untuk tujuan yang postif dengan syarat jangan mengecewakan mereka. Bung Karno sebagai Presiden memiliki itu semua yang harus menggambarkan antara lain bahwa, para pemimpin harus tegas dan lugas dan merupakan bagian dari mereka, dimana hal tersebut dimungkinkan kalau para pemimpinnya sendiri selalu turun kebawah. Para pimpinan rakyat khususnya pemuda dan mahasiswa amat menentukan dalam pembuatan kebijakan Nasional yang disepakati bersama, semua fihak dengan lebih dahulu dimusyawarahkan secara demokratis. Peristiwa sejarah lokal yang menyangkut masalah Demokrasi, yang terjadi setelah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 ini selalu menarik dikaji karena benar-benar diselenggarakan oleh rakyat, untuk kepentingan perjuangan Nasional dibawah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selanjutnya rakyat menyadari bahwa hal itu amat penting sekali terutama dalam mewujudkan utuhnya Kepemimpinan Nasional. Meskipun usaha ini dilakukan di Jakarta secara lokal, tapi maksud utamanya secara Nasional untuk melegitimasi Pemerintahan RI yang sah baik yang menyangkut lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Sesungguhnya hal ini penting mengingat gaung Proklamasi belum cukup merata kepeloksok tanah air. Selain itu belum terlihat tindakan bangsa Indonesia untuk mewujudkan Negara Kesatuan RI secara nyata sebagaimana diamanatkan dalam Naskah Proklamasi maupun UUD 1945. Dan yang lebih penting lagi timbulnya keraguan masyarakat akan kedaulatan NKRI padahal dengan mata telanjang sejak awal September 1945 rakyat Indonesia menyaksikan masih eksisnya balatentara Jepang, pasukan sekutu yang mulai berdatangan yang diyakini diboncengi pula pasukan Belanda, sementara Pemerintah RI yang dipimpin Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak nampak berbuat banyak. Ada sebuah kekhawatiran lain dari fihak penguasa politik Bangsa pada waktu itu baik yang beraliran Nasionalis, Islam maupun Sosialis bahwa masa pendudukan Jepang berpengaruh sangat dalam dalam rencana pembangunan Bangsa dan Negara pasca Perang Dunia ke II. Konflik ini sangat mencuat mengingat baik Soekarno maupun Hatta adalah tokoh-tokoh yang erat bekerja sama dengan Jepang termasuk dalam mewujudkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya beberapa gelintir tokoh politik yang benar-benar bersih dari kerja sama dengan Jepang, namun tidak dapat berbuat banyak karena nilai kepemimpinannya tidak dihargai rakyat sebegitu besar yang dimiliki Soekarno, atau penokohannya tidak dikenal.

Situasi inilah yang menggambarkan masa transisi dari pendudukan Jepang kepada zaman Kemerdekaan dalam tahun 1945. Berkaitan dengan hal diatas Soekarno sebagai Presiden dari kabinet Presidensiel pertama (sering disebut kabinet Buco) harus mampu menerima kritik maupun tuduhan-tuduhan politik yang belum tentu benar termasuk keabsahan dirinya sebagai pimpinan eksekutif yang diangkat rakyat.

Adalah Sjahrir dan Tan Malaka yang paling vokal menyebar luaskan berbagai kelemahan Soekarno selama masa pendudukan Jepang. Dan hal ini banyak ditelan bulat-bulat oleh sebagian kaum muda yang tergabung dalam kelompok pemuda-mahasiswa.

Buat Belanda yang memiliki badan NICA (Netherlands Indie Civil Administration) yang baru kemudian secara resmi tiba di Jakarta pada awal Oktober tiba di Jawa, isu politik ini amat menguntungkan dan mulai membina masyarakat Indonesia yang pro Belanda serta melakukan persiapan-persiapan akan kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda yang kabur ke Australia ketika Jepang secara resmi masuk ke Indonesia pada tgl 8 Maret 1942. Diantara tokoh NICA yang tiba lebih dahulu dengan tentara sekutu adalah Van der Plas. Usaha-usaha yang dilakukannya adalah mulai merehabiliter ex tentara KNIL baik yang bebas maupun yang baru lepas dari camp interniran Japang.

Agitasi dan provokasi Van der Plas cs, membuat Jakarta menjadi kurang aman karena dimana-mana timbul konflik bersenjata yang memakan korban tidak sedikit. Padahal kelompok pemuda-mahasiswa Jakarta sedang giat-giatnya melakukan pengambil alihan badan-badan Pemerintah ex Jepang untuk difungsikan dalam Pemerintah RI atau setidaknya Pemerintahan Daerah Jakarta Raya.
Slogan-slogan anti Kolonialisme dan Imperialisme bermunculan yang ditulis oleh pemuda-mahasiswa Jakarta pada dinding-dinding gedung, trem dan kereta api maupun dalam spanduk-spanduk yang dapat dibaca dipersimpangan jalan-jalan, Semua ini dengan harapan dapat dibaca siapa saja khususnya tentara sekutu bahwa “Indonesia sudah Merdeka dan berdaulat”.

Menanggapi tuntutan massa untuk berpidato dalam rapat raksasa Ikada, nampaknya Bung Karno melihat segi negatif dan positifnya usaha rakyat tersebut. Segi negatifnya kalau saja fihak-fihak terkait baik rakyat yang sudah menyemut yang diperkirakan berjumlah 300.000 orang, maupun fihak penguasa militer Jepang yang sudah harus bertanggung jawab kepada fihak sekutu sebagai pemenang perang dunia dan kini melakukan stelling tempur kearah rakyat. Keduanya bisa mengalami konflik fisik, yang dapat diperkirakan akan menimbulkan pertumpahan darah hebat. Segi positifnya adalah terbetuknya sosok Persatuan, Kesatuan Nasional serta munculnya nilai-nilai Demokrasi. Serta yang lebih pasti adalah legitimasi Pemerintah Republik Indonesia yang berdaulat dibawah Presiden Soekarno. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, tidak banyak yang diucapkan dalam pidato tersingkat yang pernah disampaikan Soekarno. Namun apa yang tersirat dalam pidato tersebut sungguh sebuah monumen nasional yang tidak akan dilupakan orang. Semua fihak baik mengagung-agungkan dirinya, mencerca dirinya dan mengancamnya selama zaman Jepang dan disekitar Proklamasi, termasuk yang berpikiran naif tentang manusia bernama Soekarno ini, pada ahirnya mengakuinya bahwa Republik ini dalam mengusahakan perjuangan bangsa selanjutnya setelah Preoklamasi 17 Agustus 1945 membutuhkan seorang PEMIMPIN NASIONAL yang tidak pernah ada duanya dalam sejarah Indonesia.
<<<  ...Sebelumnya Mengenai PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945<<<
>>> Selanjutnya Mengenai PERISTIWA SEJARAH LOKAL 19 SEPTEMBER 1945...>>> Selengkapnya...