SEJARAH PROPINSI JAWA TIMUR

Posted by Asykwae | Posted in ,

Menelusuri sejarah hari jadi provinsi Jawa Timur, tidak lengkap tanpa melihat background kondisi wilayah dan pemerintahan Jawa Timur. Seting sejarah Jawa Timur penting disajikan secara khusus agar dapat dikenali dan dipahami tentang argumentasi tim penelusuran hari jadi yang dibentuk Gubernur Jawa Timur mengusulkan alternatif hari jadi, dan bagaimana pula respond dan jawaban akhir dari DPRD terhadap usulan hari jadi hingga penetapannya. Peristiwa-peristiwa historis seperti apa yang secara faktual dan obyketif pernah terjadi dan dilalui provinsi Jawa Timur, sehingga tanggal 12 Oktober 1945 disepakati dan ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jawa Timur.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menelusuri sejarah hari jadi provinsi Jawa Timur, tidak lengkap tanpa melihat background kondisi wilayah dan pemerintahan Jawa Timur. Seting sejarah Jawa Timur penting disajikan secara khusus agar dapat dikenali dan dipahami tentang argumentasi tim penelusuran hari jadi yang dibentuk Gubernur Jawa Timur mengusulkan alternatif hari jadi, dan bagaimana pula respond dan jawaban akhir dari DPRD terhadap usulan hari jadi hingga penetapannya. Peristiwa-peristiwa historis seperti apa yang secara faktual dan obyketif pernah terjadi dan dilalui provinsi Jawa Timur, sehingga tanggal 12 Oktober 1945 disepakati dan ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jawa Timur.



A. Masa Kerajaan


Sumber-sumber epigrafis yang ditemukan di Indonesia banyak yang memberikan informasi tentang sistem pemerintahan di Indonesia. Perkembangan pemerintahan pada masa kerjaan diketahui dimulai sejak zaman Mataram Kuno (760-929), Medang (937-1080), Kediri (1080-1222), Singasari (1222-1292), Majapahit (1294-1527), Demak-Pajang (1575), dan Mataram Islam (1575-1755).

Menurut Prasasti Canggal (732 M), Kerajaan Mataram Kuno di bawah pimpinan Raja Sanjaya, struktur pemerintahan bersifat konsentris. Secara hierarkis pemerintahannya terdiri dari pemerintah pusat (kerajaan), pemerintah daerah (watek), dan pemerintahan desa (wanua). Pada pertengahan abad X oleh Pu Shendok, salah seorang keturunan Dinasti Sanjaya terakhir di Jawa Tengah, pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa Timur. Disamping itu, ia juga melakukan konsolidasi kekuasaan dan pemerintahannya dalam suatu sistem dan struktur yang lebih mantap. Pu Shendok juga membangun wangsa atau dinasti baru yang dikenal dengan Wangsa Isana.
Keturunan Wangsa Isana berkembang di Kediri (1049-1222). Pada masa di Kediri ini muncul perubahan dalam struktur pemerintahan dengan munculnya istilah thani, wisaya, dan bhumi seperti yang terungkap pada prasasti Hantang (1135). Selain itu juga muncul istilah haji atau lurah yang diduga merupakan pejabat wilayah pada tingkat wisaya. Satuan wilayah wisaya ini menggantikan istilah watek pada abad sebelumnya. Istilah bhumi yang muncul dapat disejajarkan dengan istilah nagara. Namun istilah bhumi mengacu kepada ibukota, sedangkan nagara merupakan sebutan bagi satuan wilayah yang secara geografis maupun fisik dipimpin oleh seorang haji. Melihat realitas diatas maka dapat disimpulkan bahwa struktur pemerintahan pada masa kerajaan Kediri terdiri dari thani (desa), wisaya/lurah/haji (kabupaten), dan bhumi (pusat).

Pada masa kerajaan Singhasari (1222-1292) terjadi perkembangan baru dalam struktur pemerintahan di Jawa Timur. Berdasarkan prasasti Mula-Manurung, 28 Desember 1255 yang dikeluarkan Raja Seminingrat, muncul institusi baru, yaitu nagara sebagai satuan wilayah pemerintahan. Institusi baru ini posisinya berada di atas watek/wisaya dan di bawah raja. Perubahan ini dilakukan untuk perluasan kawasan politik, khususnya dalam politik perdagangan.





Struktur pemerintahan lebih mengalami kemajuan pada masa Kerajaan Majapahit (1294-1527). Pada masa ini pemerintahannya telah menerapkan orientasi keluar dan memantapkan sistem penataan wilayah dan pemerintahan. Masa ini muncul jabatan-jabatan seperti Pahom Nahendra (Dewan Kerajaan), Saptaprabu (Dewan Pertimbangan), Saptaupapati (Pejabat Kehakiman), Panca Thanda (Birokrasi), dan Darma Putera, serta Bhayangkari (pasukan keamanan khusus).
Wilayah kerajaan Majapahit, khususnya di Jawa dibagi menjadi sejumlah propinsi yang membawahi sejumlah penguasa lokal: bupati, akuwu, dan demang. Para penguasa lokal ini menerima kekuasaan dari raja. Namun ia harus melakukan kewajiban seperti menyediakan tenaga untuk keperluan raja dan kepentingan militer jika diperlukan, membayar pajak, dan menghadap ke ibukota atau ke istana untuk menyatakan kesetiaan. Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya, setelah wilayah Majapahit semakin luas, raja dijadikan sebagai pusat kosmis. Untuk itu diangkatlah keluarga raja menjadi adhipati atau gubernur pada nagara-nagara atau propinsi sebagai penghubung antara raja dengan masyarakat desa. Dalam konteks demikian Raja Hayam Wuruk mengukuhkan undang-undang pemerintahan dan ditetapkannya hari jadi pemerintahan nagara setingkat provinsi di Jawa Timur dalam struktur pemerintahan kerajaan Majapahit pada tanggal 27 Maret 1365 M.



Keputusan ini diperkuat setelah Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Majapahit di bagian timur, yang dalam perkembangannya kemudian daerah-daerah tersebut menjadi wilayah Provinsi Bang Wetan atau Jawa Timur.

Tanggal lain yang juga berhubungan dengan masalah penetapan munculnya pemerintahan nagara atau provinsi selain prasasti Mulamanurung ialah tanggal peluncuran Nagarakrtagama sendiri yaitu, tanggal 25 September 1365.

Dari informasi yang ditemukan secara vertikal struktur pemerintahan Majapahit dari atas ke bawah adalah sebagai berikut: bhumi (pusat/maharaja), rajya (nagara) (provinsi/raja/natha/bhatara/wadhana/adhipati), watek/wiyasa (kabupaten/ tumenggung), lurah/kuwu (kademangan/demang), thani/wanua (desa, petinggi), kabuyutan (dusun/dukuh/lingkungan/rama). Wilayah propinsi pada Kerajaan Majapahit yang semula pada abad XIV berdasarkan pemberitaan Negarakrtagama berjumlah dua belas, yaitu:






No
Nama Nagara
Nama Natha atau Gubernur
Keterangan



















1.
Kahuripan (Janggala)
Tribhuwanatunggadewi
Ibu Raja





2.
Daha (Kediri)
Rajadewi Maharajasa
Bibi/Mertua




3.
Singhasari
Kertawardhana
Ayah Raja



4.
Wengker (Ponorogo) Wijayarajasa Paman/Mertua




5.
Matahun (Bojonegoro) Rajasawardhana SuamiBhre, Lasem, sepupu Hayam Wuruk

6.
Wirabhumi (Blambanagan) Nagarawardhani Kemenakan Hayam Wuruk




7.
Paguhan Sangawardhana IparHayam Wuruk




8.
Kabalan Kusumawardhani Anak (prp)




9.
Pawanuan Surawardhani -




10.
Lasem (Jawa Tengah) Rajasaduhita Indudewi Sepupu Hayam wuruk




11.
Pajang (dekat Solo) Rajasaduhitaiswari Saudara Prp. Hayam wuruk




12.
Mataram (Yogyakarta) Wikramawardhana Kemenakan/Prp. Hayam wuruk









(Sumber: Th. G. Pigeud, Java in the 14th Century A Study in Cultural History I Javanese Texts in Transcription, The Hague: M. Nijhoff, 1960).





Berdasarkan prasasti Suradakan, 22 Nopember 1447 provinsi di Majapahit berkembang menjadi empat belas, yang masing-masing satuan daerah itu dipimpin oleh seorang bangsawan keluarga raja sebagai raja muda yang bergelar Bhatara atau gubernur. Keempat belas daerah dan natha tersebut adalah:




No Nama Nagara Nama Natha atau Gubernur





1.
Kahuripan (Janggala) Rajasawardhana Dyah Wijayakumara


2.
Daha (Kediri) Jayawardhani Dyah Iswara


3.
Wengker (Ponorogo) Girisawardhana Dyah Suryawikrama


4.
Tumapel (Singhasari) Singawikramawardhana Dyah Suraprabawa


5.
Wirabhumi (Blambanagan) Wijayaparekraman Dyah Samarawijaya


6.
Wirabhumi (Blambanagan) Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari


7.
Jagaraga (Ngawi) Wijayaindudewi Dyah Wijayaduhita


8.
Kling (Timur Kediri) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana


9.
Singapura Rajasawardhanadewi Dyah Sripura


10.
Kalinghapura Kamalawarnadewi Dyah Sudayitra


11.
Kembang Jenar Rajanandeswari Dyah Sudarmini


12.
Kabalan Mahamahisi Dyah Sawitri


13.
Pajang (dekat Solo) Dyah Sura Iswari


14.
Tanjungpura Mangalawardhani Dyah Suragharini





(Sumber: H.M. Yamin, Tatanegara Majapahit Sapta-Parwa II, Jakarta: Prajnaparamita, 1960)




Keruntuhan Majapahit pada awal abad XVI memunculkan kerajaan baru yaitu Demak (1478-1546) dan Pajang (1546-1582). Kerajaan Demak yang dipimpin Sultan Trenggono berhasil menaklukkan wilayah-wilayah sampai ujung timur Jawa. Namun beliau tewas dalam usaha penaklukan tersebut. Kemelut politik yang terjadi setelah Sultan Trenggono wafat memunculkan tokoh baru yaitu Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya yang memindahkan pusat kerajaan ke daerah pedalaman di Pajang. Pada masa Pajang ini Jawa terbagi menjadi 5 provinsi yaitu (1) Pajang sebagai inti kerajaan, (2) Pesisir Utara Jawa Tengah dan sebagian Pesisir Utara Jawa Timur, (3) Pesisir Barat dari Cirebon sampai Banten, dan (4) Mancanagara, dan (5) Bang Wetan. Namun sumber lain (de Graaf) ada yang menyebutkan bahwa pada masa Pajang terbagi menjadi delapan wilayah provinsi yang merdeka dan terpisah, yaitu Banten, Jayakarta, Cirebon, Prawata, Kalinyamat (Japara), Pajang, Kedu, dan Madura.

Pada masa Kerajaan Mataram (1575-1755) di bawah Sultan Agung, kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berhasil ditaklukkan. Mulai dari Madiun (1590) hingga Blambangan (1635) wilayah Jawa Timur praktis dapat disatukan di bawah panji-panji Mataram. Untuk mempertahankan integrasi wilayahnya dilakukan ikatan perkawinan dengan keluarga kerajaan, misalnya Adipati Surabaya dengan adik Sultan, Ratu Pandansari. Bahkan Sultan Agung melakukan perhelatan besar pada tahun 1936 dan 1941. Perhelatan atau Sidang Raya Kerajaan ini diselenggarakan bertepatan dengan upacara Gerebeg Maulud tanggal 14 Agustus 1636. Agenda sidang tersebut adalah :


1. Peresmian pemakaian kalender hijriah untuk menggantikan kalender Saka.


2. Dilakukan registrasi wilayah kerajaan dan penetapan struktur pemerintahan.


3.
Penetapan wilayah administrasi pemerintahan di mana wilayah propinsi seperti Bang Wetan yang terdiri dari Mancanagara Wetan dan Pesisir Wetan dipimpin oleh wedhana bupati atau adhipati yang statusnya dapat dibandingkan dengan Gubernur karena posisinya berada di atas tingkatan bupati.










Dalam perkembangannya, Kerajaan Mataram banyak melakukan perubahan-perubahan pada sistem pemerintahannya. Perubahan ini tidak luput dari situasi politik yang terjadi pada saat itu. Dari sudut konsentrisme yang diterapkan dalam sistem ketatanegaraan, wilayah Mataram dibedakan atas empat golongan, yaitu (1) Kuthagara atau Kutanegara (negara) yaitu keraton sebagai titik pusat dan tempat tinggal raja. (2) Bhumi Narawita (tempat para hamba raja), yaitu tempat tinggal para bangsawan kerajaan. (3) Nagaragung, yaitu daerah di luar ibu kota di mana di daerah ini terdapat tanah jabatan dari para bangsawan yang bertempat tinggal di Bhumi Narawita. (4) Mancanagara, yaitu daerah di luar nagaragung yang meliputi mancanagara wetan (mulai Ponorogo ke timur), mancanagara kulon (mulai Purworejo ke barat), pesisiran pantai utara yang terdiri atas pesisiran kulon (Demak ke barat) dan pesisiran wetan (Demak ke Timur).









 

Comments (0)