SEJARAH PROPINSI JAWA TIMUR 2

Posted by Asykwae | Posted in ,

Kedatangan VOC ke Pulau Jawa membawa pengaruh terhadap keruntuhan Kerajaan Mataram. Dari serangkaian perjanjian yang terjadi antara Raja Mataram dengan VOC, kemelut kekuasaan dalam keluarga kerajaan dan ketidaksetiaan di bawahnya, menjadikan Kerajaan Mataram berada dalam kondisi yang semakin sulit. Satu persatu wilayah kekuasaannya berhasil dikuasasi dan berada di bawah pengaruh VOC. Misalnyai pada tahun 1743 seluruh Pesisir Utara Jawa, bahkan wilayah Pesisir Wetan yang berhasil dikuasai dibentuk propinsi Java Oosthoek (Propinsi Pojok Timur Jawa). Bahkan sampai bergantinya kekuasaan
VOC menjadi Hindia Belanda, daerah Pesisir Wetan disebut
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masa VOC

Kedatangan VOC ke Pulau Jawa membawa pengaruh terhadap keruntuhan Kerajaan Mataram. Dari serangkaian perjanjian yang terjadi antara Raja Mataram dengan VOC, kemelut kekuasaan dalam keluarga kerajaan dan ketidaksetiaan di bawahnya, menjadikan Kerajaan Mataram berada dalam kondisi yang semakin sulit. Satu persatu wilayah kekuasaannya berhasil dikuasasi dan berada di bawah pengaruh VOC. Misalnyai pada tahun 1743 seluruh Pesisir Utara Jawa, bahkan wilayah Pesisir Wetan yang berhasil dikuasai dibentuk propinsi Java Oosthoek (Propinsi Pojok Timur Jawa). Bahkan sampai bergantinya kekuasaan
VOC menjadi Hindia Belanda, daerah Pesisir Wetan disebut         Pelabuhan Perak Surabaya sudah
 dengan Java Noord-Oostkost yang berpusat di Surabaya                      ramai sejak masa VOC
(1743-1808), sedang Pesisir Utara Jawa berpusat di Semarang.     (illustrasi HJ van Heisen, KITLV)
 Pada masa VOC untuk mengamati daerah pantai utara sampai timur Jawa ditugaskan kepada gubernur yang berpusat di Semarang. Di daerah yang dikuasainya, VOC juga menempatkan residen untuk wilayah karesidenan dan bupati untuk wilayah kabupaten.

C. Masa Hindia Belanda (1800-1942)
Setelah keruntuhan VOC yang resmi dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, kekuasaan diambil alih oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), Pulau Jawa terbagi menjadi sembilan propinsi yang dinamakan prefect. Bahkan sistem pemerintahan daerah yang dibangun pada masa VOC dirombak. Kekuasaan gubernur pantai utara-timur Jawa dibagi dalam sembilan prefektur yang dipimpin oleh seorang prefect. Kedudukan prefect sebagai residen dipegang oleh orang Belanda dan dibantu oleh asisten residen. Jawa sendiri dibagi dalam 30 kabupaten. Hak turun temurun bupati dihapuskan, penentuan hak atas tanah, hak mendapatkan pelayanan, tenaga kerja, dan hak pemungutan hasil pertanian dikurangi. Sebagai kompensasinya para bupati diberi kedudukan sebagai pegawai pemerintah yang digaji.

Pada masa Daendels, Jawa jatuh ke tangan Pemerintah Inggris. Thomas Stanford Rafles (1811-1816) diangkat sebagai Letnan Gubernur untuk mewakili Raja Muda Inggris, Lord Minto yang berkedudukan di India. Pada masa pemerintahan Raffles, Jawa yang meliputi seluruh kawasan Pesisir Utara Jawa dibagi menjadi 16 (enam belas) provinsi ; Banten, Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Jipang-Grobogan, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Banyuwangi, dan Madura. Adapun untuk daerah pedalaman yang terdiri atas wilayah Vorstenlanden Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang meliputi Mancanagara Wetan dan Mancanagara Kilen.

Selanjutnya Jawa dibagi atas 17 wilayah karesidenan yang masing-masing wilayahnya dipimpin oleh seorang residen berkebangsaan Eropa. Setiap karesidenan dibagi atas kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari Bupati dibantu oleh seorang patih yang bertugas mengawasi kepala teritorial yang lebih rendah seperti wedana dan asisten wedana. Dalam sistem kepegawaian pemerintahan pribumi terdapat mantri (orang yang melaksanakan tugas khusus), penghulu (orang yang bertugas dalam urusan keagamaan), dan jaksa (orang yang bertugas dalam urusan hukum dan pajak).

Pada tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Regeerings Reglement. Menurut salah satu pasalnya disebutkan bahwa bupati dipilih oleh Gubernur Jenderal dari kalangan pribumi. Hal ini semakin memperkuat status dan kedudukan bupati. Kemudian dengan pemberlakuan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie Jawa dibagi dalam daerah-daerah administratif yang disebut gewest. Setiap gewest mencakup beberapa afdeeling (setingkat dengan kabupaten dan dipimpin oleh seorang asisten residen), district (setingkat dengan kawedanan dan dipimpin oleh seorang controleur), dan onderdistrict (setingkat dengan kecamatan dan dipimpin oleh aspirant controleur).

Pada awal abad XX, setelah banyak terjadi kritik terhadap pemerintahan Belanda di Hindia Belanda oleh tokoh-tokoh politik di Negeri Belanda, maka pada tahun 1903 dikeluarkan Wet Houdende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (undang-undang tentang Desentralisasi di Hindia Belanda) yang bertujuan untuk pembentukan daerah-daerah otonom di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pada prinsipnya undang-undang tersebut membuka kemungkinan pembentukan daerah otonomi dengan nama Locale Ressorten untuk menyelesaikan tugas-tugas lokal melalui dewan-dewan. Dengan demikian terbentuk Gewestelijke Raden (untuk daerah gewest/karesidenan), Plaatselijke Raden (untuk bagian dari daerah gewest/karesidenan, dan Gemeente Raden (untuk bagian daerah gewest yang berbentuk kota/kotapraja).
Undang-undang desentralisasi ternyata dirasa kurang memuaskan karena hanya sedikit uang yang diserahkan ke daerah. Akhirnya pada tahun 1922 dikeluarkanlah peraturan baru yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming. Undang-undang ini menjadi dasar pembentukan provinsi, dewan provinsi (provinciaal raad), pengangkatan gubernur, dan pembentukan college van gedeputeerden (Dewan Pelaksana Pemerintahan Harian). Gubernur diangkat oleh gubernur jenderal, dan gubernur juga berkedudukan sebagai ketua provinciale raad dan college van gedeputeerden.
Sebagai tindak lanjut dari bestuurhervormingswet dibentuk Gewest Oost Java. Peraturan ini berlaku sejak 1 Juli 1928 dan berkedudukan di Surabaya. Diangkat sebagai gubernur van het Gewest Oost Java adalah W. Ch. Hardeman. Pengangkatan ini berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 Juni 1928 No. 32. Keputusan ini berlaku sejak 1 Juli 1928.
      W.Ch. Handerman       Pembentukan gewest dirasa kurang memenuhi harapan, selanjutnya Pemerintah Hindia Belanda membentuk provinsi-provinsi di wilayah gewest. Pembentukan provinsi Jawa Timur diundangkan dalam Instelling van de Provincie Oost-Java. Undang-undang ini terdiri atas 25 pasal. Dalam pasal 25 dinyatakan bahwa peraturan ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1929. Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa wilayah Jawa Timur adalah sebuah provinsi dan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa kedudukan pemerintahan Jawa Timur di Surabaya. Tempat dan kekuasaannya meliputi: (1) Surabaya, Mojokerto, Gresik, dan Bojonegoro; (2) Madiun dan Ponorogo; (3) Kediri dan Blitar; (4) Pasuruan, Malang, dan Probolinggo; (5) Bondowoso dan Jember; dan (6) Madura Barat dan Madura Timur.

Sebagai gubernur pertama diangkat W. Ch. Hardeman atas dasar Gouvernementbesluit tanggal 17 Desember 1928 No. 1x. Keputusan ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929.

D. Masa Pendudukan Jepang

Setelah tentara Jepang merebut dan menguasai Hindia Belanda dibentuk pemerintahan militer yang bersifat sementara. Pemerintahan militer Jepang membagi wilayah bekas Hindia Belanda menjadi tiga wilayah, yaitu (1) Angkatan darat (Tentara Keduapuluhlima) untuk Sumatera dan berkedudukan di Bukit Tinggi; (2) Angkatan Darat (Tentara keenambelas) untuk Jawa dan Madura, berkedudukan di Jakarta; (3) Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, kalimantan, dan Maluku dan berkedudukan di Makasar.

Pada bulan Agustus 1942, pemerintahan sementara ini berakhir dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 27 tentang Aturan Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetsyu Syi. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan reorganisasi struktur pemerintahan. Menurut Undang-undang No. 27 seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas Syu (Karesidenan), Syi (sama dengan daerah stadsgemeente/kotapraja), ken (kabupaten), gun (kawedanaan/district), son (kecamatan/onderdistrict), dan ku (desa/kelurahan).
Dalam struktur pemerintahan pendudukan Jepang ditetapkan pemerintahan daerah tertinggi adalah Syu. Pulau Jawa terbagi atas 17 Syu, yaitu Banten, Batavia, Bogor, Priangan, Cirebon, Pekalongan, Semarang, Banyumas, Pati,Kedu, Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Berdasarkan pembagian tersebut, di Jawa Timur terdapat tujuh karesidenan, yaitu Surabaya, Bojonegoro, Madiun, Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Hal ini tidak beda dengan pembagian karesidenan pada masa Hindia Belanda. Dengan demikian pembagian wilayah berdasarkan propinsi dihapuskan. Hal yang cukup menarik di sini adalah walaupun wilayah daerah
kekuasaan Syu seluas daerah residensi pada masa Hindia       Tentara Jepang memperingati Ulang
Belanda, namun kekuasaannya sama dengan gubernur.                     Tahun Kaisar Hirohito
Syucokan selaku penguasa Syu menjalankan pemerintahan     di Surabaya, 1944 (sumber :KITLV)
umum, mengurus kepolisian, memerintah dan mengawasi Kenco, Syico, Keisatushoco (Kepala Kantor Besar Propinsi) dalam wilayah Syu. Selanjutnya berdasarkan Osamu Seirei No. 28 tahun 1942, dalam syu dibentuk suatu dewan yang dinamakan Cokanto atau Majelis Pembesar Syu. Dewan ini bukan DPRD melainkan dewan biasa yang bertugas memberi pertimbangan kepada Syucokan apabila diperlukan.

Meskipun provinsi-provinsi dan gubernur-gubernur dihapuskan, karesidenan (syu), kawedanaan (gun), dan kecamatan (son) tetap berada di bawah Departemen Urusan Dalam Negeri (Naimubu) di Jakarta yang pada gilirannya bertanggungjawab kepada Komando Tentara Keenambelas yang berkuasa.

E. Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidang, tanggal 19 Agustus 1945 memutuskan: (1) Membagi wilayah RI ke dalam delapan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Masing-masing provinsi dikuasai oleh seorang gubernur; (2) Setiap provinsi dibagi menjadi sejumlah karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen; (3) Dalam menjalankan tugasnya gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah; (4) Kedudukan pemerintah kota diteruskan seperti sekarang. (Berita Republik Indonesia, II/7, 15 Februari 1946, hlm. 48).

Berdasarkan Pengumuman Pemerintah yang dikeluarkan oleh Badan Penerangan tanggal 19 Agustus 1945 tentang pengangkatan menteri-menteri dan kepala daerah, R.M.T.A. Soerjo diangkat sebagai Gubernur Propinsi Jawa Timur. Namun demikian R.M.T.A. Soerjo baru menjalankan tugas pemerintahannya dan datang ke Surabaya tanggal 12 Oktober 1945. Mengingat pada masa yang sama ia juga menjabat sebagai residen Bojonegoro. Adapun jabatan residen di Jawa Timur yang diangkat selengkapnya adalah: (1) R.M.T.A Koesnindar (Madiun), (2) R. Abd. Rahman Pratalikrama (Kediri), (3) R.M.T.A. Soerjo (Bojonegoro), (4) R. Soedirman (Surabaya), (5) Mr. R.S. Boediarto Martoatmocjo (Besuki), (6) R.A.A. Tjakraningrat (Madura), (7) Mr. R.P. Singgih (Malang). Di samping itu juga diangkat bupati yang diperbantukan pada residen, yaitu R. Setiono diperbantukan pada residen Surabaya, dan R.I. Moehamad Soeljoadikoesoemo pada residen Malang.
Keputusan lain yang juga ditetapkan PPKI pada saat itu adalah penggunaan istilah yang seragam untuk daerah desentralisasi, yaitu kota untuk menggantikan gemeente/stadsgemeente, dan istilah walikota untuk menggantikan burgemeester.

Kenginan Belanda yang mencoba berkuasa kembali di Indonesia diperkuat dengan membentuk pemerintahan Belanda di daerah yang berada di luar kekuasaan RI. Untuk itu diangkat seorang pembesar Belanda dengan pangkat Regerings Commissaris voor Bestuursaangegenheden (Recomba) atau Komisaris Pemerintah untuk Urusan Pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Luitenant-Gouverneur Generaal.
Di tengah konflik dengan Belanda yang mencoba menduduki kembali Republik Indonesia, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1948 tentang Aturan-aturan Pokok Pemerintahan di daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun undang-undang ini tidak dapat dijalankan sepenuhnya akibat konflik politik di dalam tubuh RI sendiri dan dalam perjuangan melawan Belanda.
Setelah terjadi pengakuan kedaulatan terhadap RI oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar tahun 1949, mengakui tiga persetujuan pokok, yaitu (1) Dibentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS); (2) Penyerahan dari Pemerintah Belanda di Indonesia kepada pemerintah RIS; (3) Pembentukan Uni antara RIS dan Kerajaan Belanda. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut, maka sejak tanggal 27 Desember 1949 berdirilah RIS yang terdiri dari tujuh negara bagian, yaitu: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dan Negara Jawa Timur. Sementara kesembilan satuan Kenegaraan meliputi Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau, Banjar, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
Dalam perkembangannya keinginan rakyat Jawa Timur agar Negara Jawa Timur dan Negara Madura dibubarkan dan dikembalikan kepada RI besar sekali. Desakan itu diwujudkan dalam banyak bentuk mosi dan resolusi agar negara bagian itu dibubarkan. Berdasarkan desakan rakyat, Pemerintah Negara Jawa Timur menyerahkan penyelenggaraan tugas pemerintahannya kepada Pemerintah RIS. Dengan Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1950, RIS menetapkan bahwa tugas itu diselenggarakan oleh Komisaris Pemerintah yang diangkat oleh Presiden RIS. Kemudian untuk memungkinkan pembubaran negara bagian, maka ditetapkan Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1950 tentang Tata cara perubahan susunan kenegaraan dari wilayah RIS.
Berdasarkan undang-undang ini maka negara bagian yang menginginkan bubar dapat dibubarkan oleh Presiden RIS dan wilayahnya digabungkan dengan Negara RI. Setelah berkonsultasi dengan Pemerintah RI dan RIS, akhirnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 109 tahun 1950 Negara Jawa Timur dibubarkan dan Keputusan Presiden No. 110 tahun 1950 Negara Madura dibubarkan.
Sebagai tindak lanjut dari keputusan tersebut, melalui Undang-undang No. 2 tahun 1950, tanggal 3 Maret 1950 dan diundangkan tanggal 4 Maret 1950 dibentuk Provinsi Jawa Timur. Undang-undang ini diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950. Dalam undang-undang ini cakupan wilayah Provinsi Jawa Timur tidak berubah, yaitu meliputi tujuh karesidenan. Akan tetapi pemerintah daerah karesidenan dihapus dan DPRD karesidenan dibubarkan. Sementara pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur tetap berkedudukan di Surabaya.                                                     Insiden Penyobekan
                                                                                                         Bendera di Surabaya, 1945



 




  

 

Comments (0)